Fase-fase anak tantrum bisa jadi salah satu momen yang paling melelahkan ketika anak balita. Tantrum adalah keadaan ketika anak meluapkan emosinya dengan marah, berteriak, menangis kencang, bahkan hingga berguling di lantai. Biasanya anak mengalami tantrum ketika memasuki usia 1-3 tahun dan akan mereda seiring perkembangan usianya.
Penyebab anak tantrum ada bermacam-macam, namun penyebab utamanya adalah ketidakmampuan anak dalam mengenali dan mengungkapkan emosinya secara lisan. Akibatnya, anak meluapkannya dengan cara yang ia kenali yaitu marah, menangis, berteriak dan lain-lain.
Melihat anak marah, merengek, menangis dan berguling-guling baik di rumah maupun di tempat umum terkadang dapat memicu emosi orang tua. Tak sedikit orang tua yang balas memarahi anak karena ia sedang bersikap di luar kendali. Bukannya semakin mereda, namun tangisan anak akan semakin menjadi-jadi. Menurut para ahli, inilah salah satu kesalahan yang tanpa disadari sering dilakukan orang tua ketika menghadapi anak yang tantrum.
Kesalahan yang sering dilakukan orang tua ketika anak tantrum
Bagi orang tua, menghadapi anak tantrum memang tidak mudah. Kesalahan dalam menyikapi anak tantrum dapat menyebabkan anak trauma dan memicu anak untuk tumbuh menjadi anak yang bersikap agresif.
Dilansir dari Verywell Family, berikut ini beberapa kesalahan yang sering dilakukan orang tua dalam menghadapi anak yang tantrum:
1. Tidak mengabaikan tantrum anak
Ketika orang tua memberi perhatian pada tantrum anak, hal ini justru akan menguatkan sikap emosi tantrumnya. Menanggapi tangisan tantrum anak dengan kalimat “Berhenti menangis, jangan seperti anak kecil” atau “Maaf kamu tidak bisa beli mainan baru karena mainanmu masih banyak” sering kali jutstru membuat anak semakin marah.
Terkadang untuk meredakan tantrum anak orang tua hanya perlu diam, mengabaikan, dan menenangkan anak. Berpura-pura tidak mendengarkan tangisan anak sering kali lebih ampuh daripada orang tua harus meladeni sikap si kecil. Namun pastikan Anda tetap memberi perhatian pada anak dan tidak membuatnya merasa diabaikan.
2. Menyerah pada permintaan anak
Tak jarang anak mulai merengek dan mengamuk demi mendapatkan barang-barang yang ia inginkan. Jika anak tantrum karena hal tersebut, hindari bernegosiasi atau menjanjikan apa pun pada mereka. Tunggu hingga emosinya mereda, baru bicarakan lagi mengenai cara mendapatkan apa yang anak-anak inginkan.
Apabila orang tua segera menuruti keinginan anak saat tantrum, anak akan merasa bahwa kelak ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan dengan merengek, mengamuk dan merajuk.
3. Memukul, membentak, dan menendang anak
Pada beberapa orang tua, terkadang melakukan kekerasan fisik dianggap sebagai bentuk pembelajaran pada anak. Namun dilansir dari Cleveland Clinic, cara ini justru menanamkan pada anak bahwa kekerasan fisik tersebut adalah hal yang dapat diterima karena orang tuanya kerap melakukannya pada anak.
Sebaiknya, tenangkan diri Anda ketika anak mulai bersikap tantrum. Melakukan kekerasan fisik pada anak bukan hanya membuatnya trauma namun juga memicu anak untuk menjadi anak yang agresif dan menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
4. Mengancam anak
Untuk menenangkan anak yang tantrum, sering kali orang tua mengeluarkan ancaman yang membuat anak takut sehingga akhirnya menuruti permintaan orang tuanya. Namun, sebenarnya cara ini tidak dianjurkan karena hanya akan membuat anak semakin terpojok dan tantrumnya semakin meledak-ledak.
Dalam menghadapi tantrum, kuncinya adalah tetap bersifat tenang. Orang tua perlu memandang bahwa tantrum adalah cara anak untuk mengomunikasikan kebutuhan mereka. Daripada melihatnya sebagai amukan belaka, orang tua perlu memahami bahwa tantrum adalah hal yang wajar dan itu merupakan proses belajar anak untuk menyampaikan kebutuhannya.
Seiring berjalannya waktu, frekuensi tantrum anak akan berkurang dan anak-anak akan lebih pandai dalam menyampaikan perasaan dan keinginannya.
- dr Ayu Munawaroh, MKK